DILEMA GAWAI DI SEKOLAH

Ahmad Shofya Edi, S.Pd., M.Pd; Kepala SMP 2 Kaliwungu

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi  membawa dampak yang sangat luas dalam segala aspek kehidupan. Nilai-nilai kehidupan yang berkembang di masyarakat mengalami pergeseran. Batas antara nilai positif dan negatif sangat tipis. Nilai kesopanan yang dahulu sangat erat melekat dalam kehidupan masyarakat, kini relatif berangsur-angsur mulai luntur terkikis oleh derasnya peradaban modern.

Ibarat dua sisi mata pisau, kemajuan teknologi tidak hanya membawa dampak positif tetapi juga membawa dampak negatif di masyarakat. Dampak positif tidak begitu kita permasalahkan. Justru kita berharap internet mampu membawa perubahan yang positif di masyarakat. Mudahnya akses internet semakin membuat kita (para orang tua) khawatir. Kekhawatiran itu memang cukup beralasan karena dampak negatif yang ditimbulkannya sangat besar. Perilaku destruktif, perilaku menyimpang, dan perilaku-perilaku lain yang tidak sesuai dengn norma yang ada di masyarakat akan muncul  manakala pengaruh negatif itu sudah merasuki pikiran kita, (terutama anak-anak).

Lalu, bagaimana kita menyikapinya? Bagaimana dengan gawai di sekolah? Sebagai seorang pendidik hendaknya kita bijaksana dalam menyikapi hal tersebut. Hal yang harus kita ubah terlebih dahulu adalah menanamkan pengertian kepada anak-anak kita akan fungsi utama gawai dan dampak yang ditimbulkan dari gawai tersebut. Sangat kurang bijak kalau kita hanya selalu melarang dan melarang anak-anak kita membawa atau membuka gawai. Berilah kesempatan kepada mereka untuk berlatih bertanggung jawab dengan apa yang dia lakukan, tentu saja dengan tetap melakukan pemantauan terhadap apa yang mereka lakukan.

Melihat fenomena yang seperti itu, ada sekolah yang menerapkan aturan larangan membawa gawai di sekolah. Hal tersebut untuk mengantisipasi dampak negatif bagi para siswa. Sementara itu ada sekolah yang membolehkan para siswanya membawa gawai di sekolah.

Melihat kenyataan yang seperti itu, yang bisa kita lakukan adalah memberikan wawasan. Memberikan pengertian kepada anak-anak kita tentang apa itu gawai. Apa manfaat dan mudaratnya, bagaimana pengaruhnya terhadap kesehatan dan perilaku, dan sebagainya. Ibarat sebuah pisau yang tajam. Kita harus tahu fungsi utama pisau, yaitu digunkan untuk kegiatan yang positif (memotong, mengupas, dll.) Sebaliknya pisau bisa menjadi sesuatu yang membahayakan jika tidak difungsikan sebagaimana tujuan awal manusia menciptakan pisau yaitu untuk membantu mempermudah kegiatan manusia. Sesungguhnya bukan gawainya yang dipersalahkan. Kitalah yang harusnya bijak dalam menyikapi keberadaan gawai tersebut.

Di beberapa sekolah diberlakukan larangan membawa gawai bagi siswa. Hal tersebut tentu didasari pada anggapan bahwa Padahal di satu sisi kini dituntut pembelajaran dengan memanfaatkan internet. Ketersediaan computer sekolah yang mungkin kurang memadai, memaksa kita untuk mengambil langkah membolehkan anak membawa gawai sebagai sarana pendukung pembelajaran. Dengan dilarangnya siswa membawa gawai di sekolah, menjadikan sebagian proses pembelajaran menjadi terhambat, Kesempatan mendapatkan informasi secara cepat menjadi terhampat. Pertanyaannya, untuk apa sekolah memasang wifi dengan biaya yang mahal sementara akses memperoleh informasi lewat gawai dibatasi?

Sesungguhnya anak-anak kita adalah anak yang baik. Mereka sebetulnya mau menuruti apa yang kita inginkan. Kalau ada anak yang dianggap kurang baik, mungkin penyebabnya adalah kurang lancarnya komunikasi kita kepada anak tersebut. Ada sesuatu yang menghalangi komunikasi kita. Kata kuncinya adalah KOMUNIKASI. Buatlah komunikasi yang efektif antara kita sebagai orang tua, (orang bisa menjadi contoh) dengan anak kita yang notabene sedang mencari contoh yang baik dari orang-orang di sekelilingnya. Ajak anak kita berdiskusi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan internet. Dampingi mereka saat membuka gawai. Berilah kepercayaan kepada mereka. Tanamkan keyakinan bahwa jika kita menanam bibit yang baik pasti suatu ketika kita akan mengunduh buah yang baik. Sebaliknya jika kita menanam bibit yang jelek, tentu kita akan mengundah buah yang tidak baik. Tidak bisa kita pungkiri, kadang saat kita membuka sebuah situs tiba-tiba muncul iklan atau sesuatu yang kita anggap tidak pantas untuk dilihat. Apakah kemudian kita menjadi paranoid? Semoga tidak demikian. Mari kita berusaha menjadi orang tua yang bijak. Orang tua yang memegang semboyan Ki Hahar Dewantara. Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Itulah figur seseorang yang baik  disamping menjadi suri tauladan atau panutan, kita juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang – orang disekitar kita dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat sehingga kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat di masyarakat.

Penulis : AHMAD SHOFYA EDI, S.Pd. M.Pd

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *